BANTEN, Narasionline.id – Gelombang kemarahan rakyat yang tak lagi terbendung menjadi pemicu aksi unjuk rasa besar-besaran dan penjarahan di berbagai wilayah Indonesia sejak 28 Agustus 2025. Aksi ini mencerminkan luapan frustrasi masyarakat yang merasa aspirasinya tidak pernah diakomodasi, sementara ruang dialog dengan pemerintah seolah tertutup rapat.
Tradisi musyawarah mufakat, yang menjadi salah satu identitas bangsa Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945, kini dirasakan semakin memudar. Budaya itu tergantikan oleh pola pikir kapitalistik yang berkembang pesat, menciptakan ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang semakin nyata di tengah masyarakat.
Rangkaian protes yang merebak ke berbagai kota besar memperlihatkan kesabaran rakyat telah mencapai titik nadir. Aksi penjarahan terhadap rumah para tokoh yang dianggap memperburuk kondisi bangsa merupakan bentuk kemarahan akibat pernyataan dan sikap yang dirasa merendahkan rakyat.
Salah satunya adalah komentar yang menyebut masyarakat pendukung pembubaran DPR RI sebagai “orang paling tolol sedunia”. Sikap tidak sensitif para pejabat, seperti berjoget ria di tengah penderitaan rakyat, diiringi kenaikan harga dan pajak serta tunjangan dewan, menjadi pemicu utama meledaknya kemarahan publik.
Desakan rakyat untuk membersihkan Kabinet Merah Putih dari praktik korupsi semakin kuat. Mereka menuntut hukuman mati bagi koruptor serta penyitaan seluruh aset haram. Penjarahan yang terjadi di berbagai daerah dipandang sebagian pihak sebagai simbol perlawanan rakyat sekaligus protes terhadap ketidakmampuan negara dalam menegakkan hukum.
Tanda-tanda kemarahan ini sudah terlihat sejak aksi spontan warga Kabupaten Pati pada pekan sebelumnya. Kenaikan pajak yang signifikan, peningkatan gaji pejabat, hingga insiden tragis tertabraknya Affan Kurniawan oleh kendaraan taktis kepolisian, memicu eskalasi amarah hingga puncaknya terjadi pada malam 28 Agustus 2025, saat massa menyerbu Markas Brigade Mobil di Kwitang, Jakarta Pusat.
Keesokan harinya, 29 Agustus 2025, aksi berlanjut dengan pengepungan Kompleks Polda Metro Jaya yang berlangsung sepanjang hari. Situasi Jakarta memanas dan semakin memburuk pada 30 Agustus 2025 ketika pembatasan kendaraan dari luar kota justru memperparah kekacauan, mengganggu layanan transportasi umum, dan memperluas dampak ke wilayah Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Karawang.
Mulai 31 Agustus 2025, aksi penjarahan meluas, dipandang sebagai bentuk ketidakpercayaan rakyat terhadap DPR RI yang dinilai enggan menyetujui kebijakan penyitaan aset koruptor. Publik menilai penegakan hukum selama ini cenderung memelihara praktik korupsi demi kepentingan politik dan ekonomi tertentu.
Sejumlah pakar sosial dan politik menolak klaim bahwa aksi-aksi ini dikendalikan pihak asing. Mereka menegaskan bahwa pemicu utama gelombang protes adalah tekanan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang nyata dirasakan masyarakat. Dari Pati hingga kota-kota besar lainnya, aksi massa ini mencerminkan akumulasi kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil.
“Aksi-aksi ini adalah cermin dari kegagalan komunikasi antara rakyat dan pemimpin. Ketika aspirasi rakyat tidak didengar dan ketidakadilan dibiarkan, masyarakat akan mengambil langkah ekstrem sebagai bentuk perlawanan. Ini adalah peringatan keras bahwa kepercayaan publik terhadap institusi negara berada di titik kritis,” ujar seorang pengamat politik nasional.
Oleh Jacob Ereste:
Banten, 30 Agustus 2025
Redaksi Narasionline.id