JATIM, Narasionline.id – Getarannya mengguncang bukan hanya tanah, tetapi juga nalar publik. Sound horeg kembali jadi sorotan. Bukan karena dentum bass-nya semata, tapi karena dua kutub ekstrem yang saling berseberangan, diharamkan oleh ulama, namun dilindungi negara lewat Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Fatwa haram datang dari forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, yang digelar bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H. Para ulama memutuskan, penggunaan sound horeg haram secara mutlak, bukan semata karena kebisingannya, tapi karena nilai, simbol, dan perilaku yang dianggap menyertainya.
“Ini bukan sekadar soal bising atau tidak. Tapi konteks sosialnya, sound horeg bukan sekadar sound system, ia sudah jadi simbol tertentu,” tegas KH Muhibbul Aman Aly, pengasuh Ponpes Besuk, dikutip dari akun Instagram @ajir_ubaidillah.
Menurut Kiai Muhib, pengharaman ini berdiri di atas asas moral dan syariat, tak bergantung pada aturan pemerintah. Ia menilai sound horeg sudah melekat dengan identitas budaya yang rawan maksiat, joget tak senonoh, campur baur laki-perempuan, hingga potensi pelanggaran norma agama dan sosial.
“Lepas dari tafsir bising atau tidak, praktik ini tetap kami nilai haram. Bahkan jika dilakukan di tempat tertutup sekalipun,” imbuhnya.
KH. Muhammad Ajir Ubaidillah, yang turut menyebarluaskan potongan pernyataan tersebut, menyatakan bahwa keresahan masyarakat jadi alasan kuat di balik fatwa tersebut. Dalam caption-nya, ia menekankan, sound horeg identik dengan syiar orang-orang fasiq, jauh dari nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.
Namun di saat ulama menyerukan pengharaman, negara justru melangkah ke arah sebaliknya. Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur justru memberi apresiasi terhadap sound horeg sebagai hasil karya anak bangsa yang layak dilindungi dengan HAKI.
Pada 22 April 2025 lalu, Kakanwil Kemenkumham Jatim Haris Sukamto menyatakan, “Sound horeg ini adalah hasil olah pikir. Sebuah nama, desain, dan sistem audio yang merupakan buah karya komunitas kreatif.”
Menurut Haris, sound horeg bukan sekadar kebisingan, melainkan produk intelektual yang layak diapresiasi dan difasilitasi. Ia bahkan berencana memberikan penghargaan kepada komunitas kreator sistem audio ini, sambil menyebut pentingnya pembinaan agar tidak mengganggu ketertiban umum.
“Kalau mengganggu, tinggal dibina. Kita arahkan agar masyarakat tetap nyaman,” ucapnya.
Fenomena ini menampilkan ironi mencolok, satu sisi menganggapnya sumber kerusakan moral, sisi lain menyebutnya simbol kreativitas lokal. Apakah negara dan ulama sedang berjalan di rel yang sama? Atau justru melaju ke arah yang bertolak belakang?
Sound horeg sendiri adalah sistem audio raksasa, lazimnya dipasang di atas truk atau mobil, menyemburkan musik EDM dengan dentuman memekakkan telinga dan getaran menggetarkan badan. Di banyak tempat di Jawa Timur, sound ini telah menjadi gaya hidup, bahkan budaya tersendiri.
Namun ketika budaya bersinggungan dengan nilai, dan kreativitas berselisih dengan syariat, pertanyaannya menjadi makin tajam, siapa yang harus bergeser, budaya, agama, atau negara?
Sunber: Amir Baihaqi – detikJatim
Selasa, 01 Juli 2025.